"Pura-pura sungguh tak enak", aku berceletuk tiba-tiba. Kakiku yang pegal kini berendam nyaman di air hangat dalam baskom bertabur garam yang ia siapkan.
"Tapi kamu tetap menjalaninya kan ?", ia duduk disebelahku-tenang.
Aku terdiam.
"Kalau diberi Tuhan kehidupan kedua, kamu bakal pilih yang seperti apa?",tanya nya memecah hening.
"Seperti ini lagi...",jawabku dengan bonus senyum getir.
"Tapi ...?",sambungnya seolah tau kalimat itu belum cukup layak untuk dijadikan sebuah ending.
"Aku akan memilih semua takdir yang lucu ini, segala getir dan kepura-puraannya.. tapi tidak dengan kebodohan-kebodohan yang kubuat"
"Yeah... tentu saja. Begitulah kamu", sahutnya santai, kemudian mengangkat kakiku keluar dari air baskom asin yang jadi dingin.
"Habis ini kamu pasti mau bilang..."
"Aku mungkin buta, tapi aku tidak cukup bodoh untuk mengulangi kebodohan-kebodohan nan bodoh", aku mencuri start.
Kita tertawa -entah tawa macam apa itu dinamai semesta..
Yang pasti, sukma kita berperang masing-masing akan sebuah trauma, bersama untuk saling menguatkan, mungkin sesekali saling menghina dan menertawakan.
"Apa sejak kita masih menjadi gelembung doa yang Tuhan turunkan perlahan ke bumi...kita telah memilih takdir itu sendiri dan menertawakan kepedihannya bersama sebelum sampai di rahim ibunda?", tanyanya memecah gelak tawa.
Air mataku menetes tanpa izin si empunya.
"Mungkin saja...karena aku pun berpikir kita pernah memilih dan menertawakan hal semacam ini sebelumnya... jauh sebelum kita saling mengenal"