Jumat, 07 Juni 2019

Kisah Pulang #1

Kembali ke belakang dengan membuat dan menempuh jalan baru, benar-benar membuat kita memiliki pengalaman yang berbeda. Bagaimana kita menatap sesuatu yang terlewat beberapa tahun silam, menilai banyak persoalan yang bisa dibilang 'kaset lama', bahkan mendalami makna dibalik hal-hal kecil 'biasa' yang tiap hari terjadi di sekeliling kita.
Buat saya sendiri, kepulangan ke kampung halaman menjadi sumber inspirasi tulisan dan jawaban akan banyak pertanyaan saya dimasa remaja dulu.

Maksud hati ingin kembali untuk rehat dari hiruk pikuk deadline dan kerjaan, tapi apa daya ibunda butuh bala bantuan...pasti banyak yang mengalami hal serupa, bukan ?
'berbakti' menjadi kata kunci yang menenangkan hati, bersyukurlah karena kamu terlahir dan besar untuk menjadi anak baik dan mengerti keadaan...kamu terberkati, karena lepas dari semua letih... Kamu masih diberi kesempatan untuk berdebat, kadang singut, nggak jarang bete,  tapi baikan lagi karena sayang - dengan orang-orang dirumah.
:)

Tahun lalu saya pernah bahas soal pulang itu berarti mengalah (dari kata MENG- ALLAH...)

Suatu waktu, adik tingkat kesayangan saya pernah ngajak ngopi bareng buat diskusi lepas penat. Bersama teman-teman lainnya, kami ngobrol banyak hal dari kiri ke tengah, lalu kanan, atas dan bawah.
Well... Dia ngangkat perihal "babat tanah jawi" lanjut ke 'atlas walisongo'  yang sampai saat ini saya belum kesempatan baca bukunya.

Salah satunya diceritakan, bahwa dahulu sekali... Saat walisongo belum masuk ke tanah jawa, sesungguhnya watak orang jawa itu sangat kejam, ndak bisa lihat orang lain yang derajatnya dianggap lebih rendah, jalan lebih tinggi. Saat itu orang mengenal 'mo limo' yang intinya
Mereka hobi berpesta (mabuk-mabukan), zina (madon/ main perempuan) dengan satu perempuan yang digilir, judi,dll. dibilang jaman jahiliahnya orang jawa.

Lalu, datanglah sunan ampel/ sunan giri gitu (kalo tidak salah) dan dalam kurun kurang dari 40 tahun, dia mengislamkan tanah jawa beserta jajaran pemimpinnya yang pada waktu itu berbasis kerajaan.

Kalo soal agama, orang jawa itu punya agama sendiri yang kita lebih kenal gampangnya 'kejawen' itu...
Nah, gak seperti yang kita pelajari di SD soal animisme dinamisme (dimana mereka nyembah pohon, nyembah batu, nyembah roh nenek moyang).
Walisongo saat itu menemukan banyak kemiripan dengan ajaran islam...

Orang jawa saat itu mempercayai bahwa 'ada sesuatu yang besar - pencipta- yang MAHA yang telah menciptakan semesta alam', namun karena tak nampak wujudnya... Mereka menaruh sesembahan pada pohon-pohon besar yang menjadi 'bukti ciptaanNya'. Kira-kira kalau saya gambarkan seperti itu

Tempat beribadah yang mirip pelataran berbentuk kotak, dengan pagar setengah (seperti nampan) atau hanya tiang-tiang tanpa pagar , juga memiliki filosofi tersendiri yang artinya
"Tuhan bisa masuk lewat mana saja", yang kemudian diakali oleh wali dengan munculnya konsep tempat ibadah para santri yang kita sebut "langgar".

Watak keras orang jawa, yang mo limo tadi, diganti perlahan melalui dakwah 'nyeni' khas wali,
Mo limo yang awalnya buruk, diganti dengan "moh limo"  yang juga ada lima perkara yang intinya menjuhi ke 5 hal buruk diawal.
Jadi "moh" (ndak mau) melakukan zina, mabuk, dll...
Mashoooq !

Terus, orang jawa yang dikenal TIDAK MENGENAL TAKUT DAN KALAH saat itu, harus belajar tunduk pada suatu zat, bukan ?

Disitu saya baru tahu, asal usul kata "mengalah". Mengalah berasal dari kata Allah, ditambah dengan awalan Meng-
Jadi mengalah itu berarti MENG-ALLAH.
Menundukkan diri dari Tuhan.
Melihat walaupun seperti itu, orang jawa cukup taat pada 'zat' pencipta, maka...
Perlahan mengalah menjadi 'pelajaran' baru sebagai bentuk ketaatan (bisa dibilang ibadah juga mungkin ?)

Hingga kini, yang kita tahu "orang jawa itu suka ngalah". Ternyata sejarahnya panjang ya...

Dan terkait kepulangan, ada yang mengira bahwa mengalah artinya selalu menerima diperlakukan tidak adil/ diberdayakan cuma-cuma dan tidak adil lantas terima saja, berdebat lantas harus kalah.
Tidak sedangkal itu.

Mengalah disini,
Adalah menundukkan diri, hati,pikiran dihadapan Tuhan.. untuk merelakan banyak hal sejak mulai memutuskan untuk pulang. Ada banyak hal yang harus dibayar seperti kenyamanan di rantauan, harta untuk perjalanan, mungkin istirahat yang jadi nggak seberapa, dan keriweuhan serta chaos didalam sebuah keluarga yang tidak sempurna... Untuk selalu merasa cukup dan mampu bersyukur.
Menunduk... Menunduk... Menundukkan ego.
Kesel kesel dikit, wajar... Diungkapkan juga nggak masalah... Yang penting esensinya...
Bahwa kita telah mencoba dan berusaha untuk 'mengalah' ketika pulang ke rumah.

Karena kesempatan akan selalu berulang, namun tidak dengan hal yang sama.

Selamat menemukan makna pulang yang pastinya takkan sama...
Tema ini akan berlanjut selama saya di tanah kelahiran.

7 Juni 2019 | pasca lebaran H+2

Nyaik Kanjeng
(Untuk data yang terkait sejarah, akan terus dikoreksi dan diperbaiki 🙏 tabek)



Rabu, 05 Juni 2019

Perihal "MAAF"

Malam takbir, tentu handphone sudah ramai dengan berbagai text copas, gif, ataupun meme yang bergelimpangan massal. Kita bahkan anggap itu 'Lumrah'- malah jadi bahan guyonan lantas tetap dilakukan.

Sekitar 3-4 tahun terakhir. Saya berhenti minta maaf. Lho kenapa ?
Lebih tepatnya, ndak minta maaf sama yang saya rasa saya ndak gitu dekat sampe berbuat kesalahan, ndak juga copy-paste, dan memutuskan untuk membalas hanya yang chat duluan.
Egois ?
Bisa jadi. Tapi bagi saya, perihal "maaf-memaafkan' ini pilihan.

Kakak pertama saya selalu bilang, "mega ini anak yang kerjaannya minta maaf, dikit-dikit minta maaf". Gak bisa dihilangkan, ini salah satu dampak dari didikan ibu saya yg keras soal "MAAF, TOLONG, TERIMAKASIH".
Juga faktor lain seperti tumbuh sebagai orang yang minderan dan nggak enakan. 

Namun, pernah tidak berpikir seperti ini... Kita sering kali minta maaf untuk suatu hal yang tidak kita lakukan, hal-hal wajar yang manusiawi, untuk bersikap asertif dan jujur, bahkan sebenarnya itu bukan salah kita.
Kita hanya ingin semua baik-baik saja, dan menjadikan diri sendiri 'bantalan' agar yang lain tenang.

Ya, i'm that kind of person. Along this time. Till i decided to STOP it.

Mengeletek mendewasa sungguh ndak enak, kecewa karena lugunya diri akan hukum timbal balik dalam relasi antar manusia, dikhianati, dimanfaatkan, ditinggalkan, bangkit ? Tentu saja sendirian digandeng Tuhan.
Ya kan ? Iya nggak ? Hehe

Pertama kali saya bilang tegas, "untuk kali ini, saya enggak mau minta maaf, karena aku nggak salah"-- itu waktu fitnah merajalela dikerumunan kawan-kawan sekitar tahun 2015/2016 . Sejak itu, saya (dengan sangat susah payah) untuk pertama kalinya belajar "bodo amat".
Dan ndak mau basa-basi yang nggak mutu. Alias BASI BENERAN.

Aku membiarkan rumor tersebar, tanpa klarifikasi. Melihat mana kawan mana lawan, menseleksi dibantu alam. Lambat laun mereda, dan sembuh alami.

Suatu ketika dipenghujung 2018, saya mengalami suatu hal yang sangat..sangat..sangattt menyakitkan.
Kecewa pada suatu takdir yang tidak bisa diubah, kecewa pada gurita kesayangan saya sendiri.
Hingga saya memutuskan untuk menjauh dari tentakelnya, hati mengeras, namun tidak bisa membenci.

Saya hanya punya Tuhan, saat itu. Disaat yang sama, saya harus menjaga rahasia bahwa gaji saya ditunggak 1 bulan sehingga hanya mampu makan 1x sehari dengan menu secukupnya, duduk di pojokan pagar rumah orang yang agak rindang, sambil ngawas pak tukang yang bekerja dipanasan. Idealisme saya simpan digudang, agar nggak tergadaikan meskipun saya dirudung kesedihan mendalam dan kelaparan.

Waktu itu, hanya tiga orang teman yang tiba-tiba menanyakan kabar. Rasanya seperti diguyur hujan deras waktu kemarau panjang. Melegakan, haru, bahagia, terkuatkan.
Pada salah satunya, saya bercerita... Seluruh kompleks drama saat itu.

Satu hal yang saya syukuri. Dia begitu MEMANUSIAKAN SAYA YANG SEDANG TERKAPAR SEBAGAI MANUSIA LEMAH.
Saat itu saya bilang padanya, bahwa entah sampai kapan aku akan seperti ini, aku akan menjaga jarak dari para tentakelku, dan tidak bisa mencintainya seperti sedia kala, boro-boro minta maaf, bahkan kalaupun di-mintai maaf, belum tentu akan kuterima. Kira-kira begitu, entah seberapa dalam luka saya saat itu.
Hanya yakin akan tugas Tuhan yang menjadi pegangan saya untuk tetap hidup...

Dan tahu apa jawab sahaba saya saat itu.
Dia mempersilakan saya untuk bersikap seadanya, tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu terburu-buru, katanya saat itu pada saya yang berlumuran air mata dibalik telponan berjam-jam.

"Biarkan Tuhan yang atur, bagaimana hati kamu akan sembuh dan memilih akhirnya, ...nggak papa, Ga...aku paham gimana sakitnya kamu. Nggak papa ..."

Disitu saya bersyukur, dia tidak menghakimi saya yang nggak mau memaafkan dengan cepat, apalagi minta maaf (karena memang posisinya tidak untuk minta maaf).

Sejak itu pula, saya yakin, bahwa maaf dan memaafkan itu sangat sakral dan personal. Tidak bisa dipaksakan, meski bisa diusahakan. Sungguh memaafkan sangat mulia, terlebih minta maaf (duluan) sangatlah pemberani.

Namun, ada banyak hal, kondisi, persoalan, yang tidak bisa semerta-merta diselesaikan dengan kata "maaf" saja... Melainkan PROSES PANJANG PERSONAL YANG TERKAIT .

Tidak apa-apa jika kamu tidak mau minta maaf karena butuh waktu untuk memaafkan dirimu dahulu sebelum mengumpulkan keberanian untuk minta maaf secara tulus. Pun... Manusiawi jika kita butuh waktu untuk bisa memaafkan lainnya.

Selama kita sama-sama belajar... Kedalam.
Bahwa setiap persoalan yang menyangkut relasi horizontal, pasti bukan salah 1 sisi saja. Refleksi... Dan nikmatilah proses permaafan 'dalam' dan 'pada' diri sendiri .

Karena sesungguhnya, lebih sulit memaafkan diri sendiri ketimbang kesalahan jiwa lainnya. Dan begitu selesai yang berujung 'damai pada diri'... Maka urusan maaf atau memaafkan lainnya akan terasa lebih ringan...insyaAllah.

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Selamat mendalami 'maaf' kita ...
Semoga 'Puasa' kita tak berhenti sampai disini...
Selamat re-charge energi 💗🙏

Saya,
Yang sampai ending tulisan nggak mengajukan permohonan maaf.
😇😘🤗








Jumat, 21 Desember 2018

Racau Temaram - Tentang Usia # SEPEREMPAT ABAD

Ya ! dua puluh lima sudah, alias seperempat abad saya menghidupi bumi sebagai 'manusia'- katanya. 
Bagaimana rasanya ? jawabnya.. (jujur)
"enggak gimana-gimana". 
Tapi, ada banyak hal yang kupikirkan sejak beberapa bulan, minggu, bahkan hari menjelang "seperempat abad lyfe". REFLEKSI. 
Benar, ini tahun ke dua saya 'milad' di 'luar' zona nyaman- di luar bayangan. 
Semakin ke timur, semakin jauh, semakin syahdu... begitulah sensasi 'refleksi' kali ini.

Ada beberapa hal yang ingin saya bagi, lepas dari berapapun usia kalian, entah apa pula yang sedang kalian lakukan di lain tempat di belahan bumi yang sebelah mana- dan apapun yang sedang kalian hadapi dan rasakan... 

25 bisa dibilang usia yang lucu, seakan menjadi 'pos pendakian' pertama di pendakian kehidupan cukup diistimewakan oleh cukup banyak kalangan. "Tahun Perak" katanya (begitu istilah yang dipakai bagi pasangan yang telah menikah mencapai 25 tahun). Usia yang tidak bisa dibilang 'pemuda saja', bukan remaja, dewasa baru masuk, namun belum cukup tua untuk dibilang 'bijaksana'.
'twenty something' yang awalnya dirasa cocok, tapi sepertinya juga tidak. Yah~ balik lagi ke persepsi masing-masing ya...
Yang pasti, nggak sedikit yang ndadak ketar-ketir di usia ini. Entah kenapa. 

Dari sekian banyak 'doa' dan ucapan ulang tahun, saya menemukan satu hal yang unik... ada yang bilang seperti ini. 
"Kehidupan menjadi lebih serius, (mulai) sekarang". Saya tertahan cukup lama di kalimat tersebut, seakan diberi sambutan 'selamat datang' dengan realita yang lebih kaku dan berat.
But, seriously... 
25 enggak se-seram itu ! ;)
it's depend on your self, actually. 

Saya pernah merasa aneh sendiri, hingga akhirnya nekad bertanya ke beberapa kawan soal apa yang mereka rasakan di usia seperti sekarang (kami sebaya). Entah kenapa saya merasa justru semakin menuju seperempat abad malah semakin bersemangat akan banyak hal. Tidak ambil pusing akan omongan manusia lain, drama musikal kehidupan, juga luka dan soal mewujudkan mimpi-mimpi yang sempat tertunda. 
Waktu itu saya tanya begini,"Aneh ndak sih, kalau diusia kita sekarang, kok makin kerasa fearless ya?"
dan rata-rata menjawab, " iya, aku juga". Mereka bilang "rasanya justru 'on fire' banget kan ?"
nah, mungkin itu juga alasan kenapa usia-usia segini dianggap 'usia paling produktif'.
Mungkin, kalian juga merasakan hal yang sama (?)

Diusia ini, 
Kita sudah cukup paham (minimal) SETENGAH dari diri kita - siapa diri kita, orang macam apa kita ini, bagaimana kita mampu berefleksi atas segala hal dan bisa bertahan sejauh ini, apa yang kita impikan, apa yang kita ikhlaskan, bagaimana caranya untuk tidak sekedar bertahan hidup tapi melakukan sesuatu untuk bergerak dan menggerakkan, serta satu lagi yang tidak boleh ketinggalan... melakukan hal-hal 'gila' yang sempat tertunda karena rasa takut di masa sebelumnya (termasuk melawan hal-hal formal yang selama ini dilakukan untuk menjaga perasaan makhluk lain), BEDANYAAAA, berbuat hal-hal tersebut dengan terima semua konsekuensinya. Mungkin juga asa yang dulu sama sekali tak mampu terbayangkan untuk mewujudkan karena begitu banyak 'takut' dan 'pertimbangan' demi orang lain.

Enak kan ?
Hah ! begitulah kira-kira rasanya. 
Dengan catatan --- kita sudah paham bahwa semua hal punya sebab akibat dan resiko harus diambil baik ataupun buruk. Ya.... BERANI tak hanya modal nekad. 
Karena diusia ini juga, rasionalitas lebih terbangun dan 'cor-corannya' sudah mengering. Tahu kan ?


Lalu, Bagaimana dengan tuntutan ?
Kalau tuntutan, memang akan selalu ada-berapapun usiamu- 
bedanya, kini kita sudah dipandang 'cukup dewasa' untuk memilih jalan kita sendiri (asalkan kita memang menunjukkan kepada para 'tetua' yang khawatiran bin posesif itu, bahwa kita memang punya mimpi dan berani untuk berjuang menjadikannya nyata.

Kalau diingat-ingat, terlalu banyak hal yang saya bantah hingga titik ini. Boro- boro bisa keliling nusantara, keluar pulau saja tidak boleh. Jelas saya 'mekso', wong saya atos og ! >_<
gimana ?
saya tulis surat buat orangtua saya- waktu itu saya masih SMA. Saya bilang "Aku mau diperlakukan sama dengan kedua kakakku, biarkan aku jadi anak panah terakhir yang melesat kencang, aku nggak ingin jadi pajangan hanya karena aku anak ragil di keluarga ini"
modyaarrrr raaa ! 

Benar kalau ada yang bilang;
"satu hal yang paling kubenci dalam perjuangan meraih mimpi adalah saat aku harus melawan orangtuaku"
 
don't you feel it ?

Well... beda lagi soal tuntutan 'NIKAH'. ini yang banyak bikin orang (kebanyakan perempuan) ketar ketir. TAPI YA ITU TADI SHAYY. 
Entah kenapa, diusia ini -asalkan kita tidak termakan sekitar ... justru akan lebih fokus dan membara mengejar hal-hal yang sebelumnya dianggap mustahil itu. Berapi-api yang dijelaskan diatas tadi, terjadi di masa ini. 
Tidak, aku sendiri tidak bisa bilang kalau 'jadi anti' dengan hubungan... bukan... ada hal lain yang rasanya 'memakan lebih banyak ruang' ketimbang harus terjebak dalam drama percintaan yang sungguh - melelahkan. 
Karena, tidak bisa dipungkiri... kita harus mensingkronisasi energi, sedangkan pada kenyataannya belum tentu hubungan yang sedang kita lalui itu dengan 'sumber energi' yang tepat. 
Sehingga tidak jarang, energi kita terserap banyak namun tak mampu menyerap, ataupun sebaliknya .. jangan-jangan kita yang terlalu banyak menyerap energi pasangan. 
Dan itu SANGAT MEMBUAT LEMAS LAHIR BATIN. 
"Karena sungguh,  menemukan Letter C itu tidak semudah bayangan"
**C + C = O [synchronized]
((LOL))

Akan ada masa dimana orangtua mulai ngungkit 'umur' dan 'kematian' untuk menekan kita agar mulai memikirkan pernikahan. Sooooo classic . Memusingkan atau tidak, itu juga PILIHAN. Percayalah, jika benar-benar tahu untuk apa kita hidup di bumi, akan muncul banyak hal yang sesungguhnya lebih urgen dan penting ketimbang 'kawin dan punya anak'.

Mungkin tiap orang akan berbeda dalam memaknai "25" ini. Tergantung bagaimana kita tumbuh selama ini, berpikir, terstimulan, dan berkembang di lingkungan macam apa. Itu juga yang mempengaruhi daya tahan personal terhadap tekanan atau tuntutan dari luar. 
Toh kita bukan lagi remaja yang bisa dimarah dan diatur terus-terusan, remaja pun bisa memberontak, bedanya sekarang lebih diplomatis dalam menyampaikan perbedaan pendapat dengan para tetua. 
Ya nggak ?
Biar sama-sama 'senang'. atau minimal ' diizinkan ' walau tak sesuai harapan awal.
Sehingga tidak menyesal dimasa depan. 
Pun jika diungkit-ungkit dengan 'ancaman usia'... kita tak pernah tahu- apakah benar mereka akan pergi lebih dahulu atau mungkin kita ?
Jika berpikir rasional sampai disitu saja, maka kita bisa menyanggah beberapa 'ancaman' tersebut dengan baik. (mudah-mudahan) ehhehehehe

Ahh.. random banget. 
dan disini sudah nyaris 23:00 WIT 
well, kapan waktu dilanjut lagi. 
ini bukan 'sok-sok mau ngajari' atau kasih motivasi...

cuma mau kasih cerita versi sini- bahwa ...
kehidupan sebenarnya itu memang Chaos. Berapapun usia kita. Itu kenapa saya ndak percaya dengan quarter life crisis . karena krisis kehidupan, bisa menyerang SIAPA SAJA KAPAN SAJA UMUR BERAPA SAJA. dan saya banyak buktinya. (ada di tulisan sebelum2nya)

met rehat !

love love,

SAYA. 


Minggu, 28 Oktober 2018

#RACAU DINI HARI - PUBER TAHAP DUA

Seperti mengulang masa remaja, tetiba mempertanyakan perubahan pada diri...
Setelah tanpa sadar membuat dinding-dinding tinggi, lantas berpikir bagaimana perasaan orang-orang dibalik pagar yang mungkin sadar atau juga tidak...

Bedanya, sudah paham pada setiap kemungkinan dan konsekuensi kedepan. Lebih "nothing to lose", buruknya... menyiksa diri dengan 'pura-pura tidak peduli', dan sulitnya beradaptasi dengan 'mati rasa'.
Lega sekaligus bersalah.
Semacam itulah.

Di satu titik setelah melewati hempasan menuju dewasa, kemudian menemukan diri, tujuan, asa, luka, bangkit, jatuh, berdiri, mati, hidup lagi, melangkah lagi dengan tidak tergesa-gesa... Kita kira itulah 'jalan' yang akhirnya kita temukan dan pilih...
Kita kira, dengan pengalaman segitu banyaknya, sudah tak akan ada lagi keraguan dalam melangkah, bersikap, bertutur, berpikir.
Ya, tadinya kukira pun seperti itu.

Ternyata, dentuman itu bisa pecah kapan saja, menyambar diwaktu yang tidak kita duga dan sadari.
Ibarat sudah bersandar di sebuah pulau, kita kira tugasnya tinggal membangun rumah dan bercocok tanam di pulau tersebut. Ternyata ada badai besar dan tsunami yang harus membuat kita mengevakuasi diri.
"Pulau itu tidak aman huni".

Yang perlu disadari...
Ternyata "hidup adalah perjalanan" bukanlah mitos, dan "ujian bisa datang kapan saja" .. Itu juga bukan omong kosong.
"Perubahan itu menyakitkan",itu juga fakta.

Luka menjadi sembuh,
Sehat lalu berurai darah,
Binar tumpah menjadi air mata...
Semua itu bagian dari proses....

Dan kita, ternyata tidak akan pernah menjadi sosok yang sama,
Kecuali kita tidak belajar apa-apa dari kehidupan. Tidak merefleksi dan menerjang apa-apa yang bisa diperbaiki, atau memilah mana yang boleh dipertahankan demi kebaikan diri yang tidak merugikan orang lain.

Tidak berpikir egois kalau perubahan pada diri kita, membuat orang-orang yang dulunya mengelilingi, perlahan pergi... Lantas menyalahkan mereka. Tidak juga.

Ada kalanya kita bisa berpikir sebaliknya.
"Bisa jadi, aku yang baru tidak cukuo baik untuknya".
Ya, lagi-lagi ini soal refleksi diri.

Ah, baru ingat.
Sudah hampir seperempat abad ternyata...
Mungkin memang sudah saatnya untuk "PUBER TAHAP DUA".
Bukan puber kedua seperti yang selama ini disebut-sebut dikalangan masyarakat kita, tapi... Ini masih tentang memahami diri sendiri, kemana jiwa muda ini akan merangkak kembali, menemukan dirinya yang baru lagi, atau mengumpulkan potongan-potongan jiwa yang lain untuk dipelajari dan di-stek sendiri.

Sekali lagi, itu semua butuh waktu,
Butuh rasa total, perlu topan dan badai kesekian kalinya, dan perlu kebangkitan entah keberapa kali...

Dan dimasa depan... Mungkin akan ada tahap ketiga, empat, lima, dan seterusnya.
Entahlah,  bersiap sajalah !

Pergi atau ditinggal pergi
Dipaksa pulang atau memulangkan diri
Pada akhirnya kita harus siap dengan semua kemungkinan,
Dan tentu saja... Sendirian.

Antara egois tapi tak bisa memungkiri, kadang kita perlu ego yang agak tinggi untuk bertahan hidup di jagad yang tak berhenti menghibur dan menggurui.


Semoga lelap menyembuhkan, menenangkan, melegakan.
Selamat istirahat.

Sleman, 28 Oktober 2018
01.46 wiy




Sabtu, 01 September 2018

#RACAU MALAM - GURITA SAYANG

"Jika dunia meyakitimu, pulanglah ke pelukan keluargamu.
Namun, jika tentakel kesayangan justru yang melukai, kemana lagi kaki ini harus berlari pulang ?
Kemana tubuh ini menjatuhkan pelukan ?"


Cukup banyak pertimbangan dan olah kata dikepala hingga memutuskan untuk menuliskan ini...
Diantara semua tema... kisah 'cinta' ini yang paling sulit. Aku mencoba melihat dari berbagai kisah dan sudut pandang... 
Semoga keegoisan persepsi ini tetap menenangkan kalian... jiwa-jiwa yang kehilangan rumahnya untuk 'pulang'.

Berat ya ? Pasti berat.
Ingin menangis ? Tentu saja kalian berhak menangis. Sangat manusiawi. 
Bagaimana mungkin membenci dan mencintai di waktu yang bersamaan ? 
MUNGKIN SAJA DAN MEMANG MEMUNGKINKAN untuk melakukannya bersamaan. 

Orang bilang "darah lebih kental daripada air". Tapi perlu diingat, darahlah yang menyimpan seluruh 'informasi' secara turun temurun, akan sebuah revolusi peradaban, akan kebahagiaan dan luka... ya .. luka. Lewat dara juga semua 'sakit' bisa terdeteksi, dan setiap 'virus' bisa menular dengan pasti. Seperti pedang bermata dua, saat darah itu baik maka akan baik pula fungsinya namun sebaliknya...ya kita semua tahu apa padanan katanya. 

Saat remaja dulu, saya pernah membaca di salah satu seri 'Chicken Soup' tentang "GURITA KESAYANGAN"- sebutan untuk "Keluarga".  Ada sebuah kalimat yang kurang lebih seperti ini. 

"Keluarga ibarat gurita kesayangan, terkadang kau benar-benar ingin lepas tapi tidak benar-benar lepas dari tentakelnya"

Seorang saudara juga pernah berkata seperti ini, "Ada beberapa takdir yang tidak bisa kita ubah, antara lain kelahiran, jodoh, dan kematian. Kita bisa memilih pada benang merah mana kita terikat, pada takdir mana kita terpaut, kita bisa memilih teman dan kerabat yang sesuai dengan kita, sayangnya tidak dengan keluarga, kita tak pernah bisa memilih pada keluarga mana dan macam apa kita di lahirkan"

Benar...
Kenyataannya memang seperti itu.
Kita terikat sebuah takdir yang tidak bisa kita ubah sehingga "Hate-Love Relationship" itu benar-benar seringkali kita alami. Dangkal ataupun dalam, baru-sebentar ataupun jangka panjang.

Tidak jarang saya merasakan patah hati tiap kali mendengar kalimat , "aku anak broken home, ayah ibuku bercerai".
Sayang... sungguh menuliskannya saja rasanya ingin menangis....
((siapapun yang mengalaminya di luar sana, kalian tidaklah sendirian. percayalah sayang..)
Dan...'broken home' tidak melulu akibat perceraian, bahkan banyak sekali manusia lain di muka bumi ini yang 'broken home' dalam keluarga yang utuh. 
Ya... begitulah kenyataannya. 


Pasti banyak, yang telah dan masih berjuang menghadapi hal terkait gurita kesayangan, mencoba mengatasi dan mengelola konflik dalam mangkuk takdirnya masing-masing. 
Berusaha.... berdoa... berusaha... berdoa... terus menerus. Tentu saja dengan air mata yang tak terbendung ataupun yang terisak dalam persembunyian. 

Terkadang kita berada di titik terendah dalam kepercayaan diri bahwa kita mampu mengahadapi semuanya, tak jarang kita membebani diri seakan kitalah yang bersalah dan satu-satunya solusi (tapi kenyataannya tidak sepenuhnya benar).
Ingin mempercayai orang lain namun malu akan aib darah sendiri... tapi tidak tau kemana lagi melampiaskan keluh kesah selain dihadapan NYA- sang sutradara yang memberi takdir. 

Percayalah, kalian tidak sendirian...dan yakinlah kalian kuat... pasti kuat, akan selalu kuat. Selama kalian menghadapi dengan seluruh daya dan serah pada Nya. 

Pernahkah berpikir seperti ini ?

"pada akhirnya cepat atau lambat, untuk waktu yang sebentar atau sampai akhir hayat, kita akan berjalan sendirian... dan kita pun tidak akan berbagi liang "

Ya, pada akhirnya... semakin sering kita diuji dengan kehadiran, suka-duka, dan kehilangan...kita akan paham bahwa  meninggalkan atau ditinggalkan, semuanya pasti akan terjadi. Dan sampai saat itu tiba, kita akan berlatih perlahan mengatasi tiap rasa sakit dan bahagia yang menghampiri, 
Bijaksana yang lahir dalam menghadapi setiap rasa itulah, yang kelak akan menguatkan, mengikhlaskan, dan membangkitkan jiwa dalam kondisi terburuk.

Pernahkah berpikir ?
jika apa yang kita rasakan sekarang, tidak akan mampu kita emban jika sebelumnya kita tidak pernah belajar untuk menghadapi setiap rasa yang berpapasan dengan kita ?
Dan untuk saya pribadi... 
pengalaman-pengalaman membahagiakan atau pun menyakitkan, benar-benar berfungsi sebagai pengingat bahwa 

"hai, diri... kamu pernah mengalami rasa sejenis ini tempo hari, dan akhirnya kamu melewatinya dengan baik kan ? iya kan ?"

Pasti ada hikmah. Entah untuk kita, ataupun untuk tentakel lainnya.
Mungkin kita memang tidak akan pernah tahu apa yang kan terjadi di depan nanti... namun...
siapapun kalian, dimanapun kalian...
Percayalah... yang perlu dilakukan adalah menguatkan langkah, mengatur deru napas, tenangkan pikiran, berhenti menerka-nerka, perbanyaklah berdoa untuk kuatkan jiwa, banyak berdialog dengan diri dan IA. 

Fokuslah ke dalam diri untuk melakukan dan menghandle apa-apa yang bisa diupayakan, dan "menyerahkan pada pemilik takdir" apa-apa yang tidak bisa kita upayakan lagi...

jika belum mampu menerjang...
BERTAHANLAH...


Ya... Bertahanlah...
wahai jiwa...Kuatlah... semua ini akan terlewat dengan baik...percayalah...


Dengan cinta, dan diterjang bingung harus bicara apalagi tentang 'gurita' yang satu ini..
Dalam upaya memaknai benci yang begitu ku cintai....
Berpeganglah erat dengan satu-satunya sahabat (dirimu)...peluklah ia dengan erat ( jiwamu )


"Jangan takut...jika tak ada lagi lengan dan rumah untuk pulang... Tuhanlah tempat peraduan yang paling bisa kau andalkan...hingga IA yang memutuskan mu untuk 'pulang' ...dengan inginNYA"




Yogyakarta, 01 September 2018
Hangat berdua dengan sahabatku-jiwaku. 





Kamis, 16 Agustus 2018

#RACAU SORE - BEBERAPA HAL

Di usia yang nyaris seperempat abad ini...

Saya belajar untuk lebih rileks dalam menghadapi banyak situasi, tidak memaksakan diri untuk 'selalu memuaskan banyak orang'. Tidak mau terlalu menonjol dalam sebuah forum (sudah lewat toh masa-masa keras pembuktian itu),
Dan berhenti istirahat kalau memang lelah, tidur kalau memang capek dan ngantuk, sesekali makan junkfood kalau memang lagi ingin, dan...belajar untuk membahagiakan diri dengan momen 'me time' yang berkualitas, berkomunikasi dengan orang-orang yang saya ingini saja (yang tidak bikin pusing), tidak perlu buang tenaga untuk mengklarifikasi sebuah isu. Sulit sekali untuk yang satu ini, tapi terkadang memaksa diri untuk lebih cuek sedikit... bisa membuat diri lebih bahagia.

Meskipun akhirnya dihindari, walau terkadang jadi diremehkan.. tapi benar deh, menjalani "slow life dan self-care" jauh lebih mendamaikan hidup...
Jadi lebih banyak ruang untuk memaafkan diri dan orang lain, lebih menikmati waktu, lebih mensyukuri nikmat hidup.

Dan disitu juga rantai seleksi alam yang dikira terputus ... ternyata masih berjalan, bukan ?
Yang ditakdirkan untuk tinggal, maka mereka akan tetap tinggal... dan yang ditakdirkan untuk pergi, maka akan pergi...cepat atau lambat, karena kita membuat kesalahan atau tidak....


Salam sehat jiwa, pikir, dan rasa.
-saya yang deg deg an menuju 25 tahun, wkwkwk gak deng !

Rabu, 15 Agustus 2018

#RACAU SORE - MENGKOMPARASI TAKDIR

Benar...
Menghidupi kehidupan dengan label 'dewasa' sungguh selucu ini.

Ibarat angin tak bisa adu kecepatan dengan rindangnya pohon, dan kuat debit aliran sungai sungguh tak imbang jika diadu dengan pergerakan gumpalan awan di langit sana.

Ya... Begitulah kenyataannya, bisa saja kamu saat ini sedang bersusah payah memenuhi kebutuhanmu karena kamulah tulang punggung keluarga, boro-boro memikirkan pernikahan, memikirkan esok keluargamu masih bisa makan saja sudah lega.

Disisi lain, ada manusia-manusia yang terlahir dengan sendok perak di mulutnya.
Hidup nyaman, tidak ada tuntutan, masa depan terjamin dengan simpanan dan warisan generasi diatasnya.

Bisa jadi, kamu sekarang sedang bingung, kemana lagi kaki harus melangkah dengan skill yang sedang kau asah dan ilmu yang lagi kau perdalam kesana kemari, sedang disatu sisi, keluarga terus meremehkan apa yang kamu usahakan, hingga takut mengutarakan mimpi di dalam pikiran.

Atau, kau yang merenung disana... Dengan setumpuk kerjaan dan waktu luang diakhir pekan, sudah punya tabungan... Masih melamunkan tentang kehidupan macam apa yang sesungguhnya kau inginkan (?). Mau keluar dari zona nyaman tapi takut dihadang kenyataan dan hambatan, tapi rasa mengganjal tak kunjung menghilang...

Bisa juga kamu benar-benar gigih bekerja, karena itu satu-satunya cara untuk terlepas dari tuntutan keluarga yang tak ada habisnya jika melihat kau "santai saja".

Hingga tak jarang kita mengeluh dan membatin, "enak ya dia"...tidak sedikit keluhan yang keluar dan menjelma galian dalam menantimu tersandung dan jatuh tenggelam.

Benar...aku ingin bilang hal ini sangat wajar dan 'khas manusia'.
Kita tidak akan pernah puas jika terus membandingkan, selamanya manusia akan memiliki benih keserakahan, namun sejauh apa kita membuatnya berkembang maka tidak akan ada matinya. Tapi kita selalu punya pilihan, bukan ? Untuk membiarkannya tumbuh liar dan menjadi benalu, atau melepaskannya dan mulai fokus menyirami hal baik lainnya.

Semua hal kecil yang disebutkan diatas dan masih banyak contoh besar dalam semesta ini, sungguh merupakan medan pendewasaan bagi semua makhluk yang tahu diri, mengerti apa yang harus ditambah, dikurang, dan dipangkas dari pribadi untuk menciptakan ruang kelegaan dalam syukur yang besar.

Selamat bernegosiasi dan damai dengan jiwa dan takdir...
Semangat berjuang, untuk kalian yang memang ditakdirkan untuk berjuang lebih keras. Pasti kuat, yakinlah mampu.