Rabu, 05 Juni 2019

Perihal "MAAF"

Malam takbir, tentu handphone sudah ramai dengan berbagai text copas, gif, ataupun meme yang bergelimpangan massal. Kita bahkan anggap itu 'Lumrah'- malah jadi bahan guyonan lantas tetap dilakukan.

Sekitar 3-4 tahun terakhir. Saya berhenti minta maaf. Lho kenapa ?
Lebih tepatnya, ndak minta maaf sama yang saya rasa saya ndak gitu dekat sampe berbuat kesalahan, ndak juga copy-paste, dan memutuskan untuk membalas hanya yang chat duluan.
Egois ?
Bisa jadi. Tapi bagi saya, perihal "maaf-memaafkan' ini pilihan.

Kakak pertama saya selalu bilang, "mega ini anak yang kerjaannya minta maaf, dikit-dikit minta maaf". Gak bisa dihilangkan, ini salah satu dampak dari didikan ibu saya yg keras soal "MAAF, TOLONG, TERIMAKASIH".
Juga faktor lain seperti tumbuh sebagai orang yang minderan dan nggak enakan. 

Namun, pernah tidak berpikir seperti ini... Kita sering kali minta maaf untuk suatu hal yang tidak kita lakukan, hal-hal wajar yang manusiawi, untuk bersikap asertif dan jujur, bahkan sebenarnya itu bukan salah kita.
Kita hanya ingin semua baik-baik saja, dan menjadikan diri sendiri 'bantalan' agar yang lain tenang.

Ya, i'm that kind of person. Along this time. Till i decided to STOP it.

Mengeletek mendewasa sungguh ndak enak, kecewa karena lugunya diri akan hukum timbal balik dalam relasi antar manusia, dikhianati, dimanfaatkan, ditinggalkan, bangkit ? Tentu saja sendirian digandeng Tuhan.
Ya kan ? Iya nggak ? Hehe

Pertama kali saya bilang tegas, "untuk kali ini, saya enggak mau minta maaf, karena aku nggak salah"-- itu waktu fitnah merajalela dikerumunan kawan-kawan sekitar tahun 2015/2016 . Sejak itu, saya (dengan sangat susah payah) untuk pertama kalinya belajar "bodo amat".
Dan ndak mau basa-basi yang nggak mutu. Alias BASI BENERAN.

Aku membiarkan rumor tersebar, tanpa klarifikasi. Melihat mana kawan mana lawan, menseleksi dibantu alam. Lambat laun mereda, dan sembuh alami.

Suatu ketika dipenghujung 2018, saya mengalami suatu hal yang sangat..sangat..sangattt menyakitkan.
Kecewa pada suatu takdir yang tidak bisa diubah, kecewa pada gurita kesayangan saya sendiri.
Hingga saya memutuskan untuk menjauh dari tentakelnya, hati mengeras, namun tidak bisa membenci.

Saya hanya punya Tuhan, saat itu. Disaat yang sama, saya harus menjaga rahasia bahwa gaji saya ditunggak 1 bulan sehingga hanya mampu makan 1x sehari dengan menu secukupnya, duduk di pojokan pagar rumah orang yang agak rindang, sambil ngawas pak tukang yang bekerja dipanasan. Idealisme saya simpan digudang, agar nggak tergadaikan meskipun saya dirudung kesedihan mendalam dan kelaparan.

Waktu itu, hanya tiga orang teman yang tiba-tiba menanyakan kabar. Rasanya seperti diguyur hujan deras waktu kemarau panjang. Melegakan, haru, bahagia, terkuatkan.
Pada salah satunya, saya bercerita... Seluruh kompleks drama saat itu.

Satu hal yang saya syukuri. Dia begitu MEMANUSIAKAN SAYA YANG SEDANG TERKAPAR SEBAGAI MANUSIA LEMAH.
Saat itu saya bilang padanya, bahwa entah sampai kapan aku akan seperti ini, aku akan menjaga jarak dari para tentakelku, dan tidak bisa mencintainya seperti sedia kala, boro-boro minta maaf, bahkan kalaupun di-mintai maaf, belum tentu akan kuterima. Kira-kira begitu, entah seberapa dalam luka saya saat itu.
Hanya yakin akan tugas Tuhan yang menjadi pegangan saya untuk tetap hidup...

Dan tahu apa jawab sahaba saya saat itu.
Dia mempersilakan saya untuk bersikap seadanya, tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu terburu-buru, katanya saat itu pada saya yang berlumuran air mata dibalik telponan berjam-jam.

"Biarkan Tuhan yang atur, bagaimana hati kamu akan sembuh dan memilih akhirnya, ...nggak papa, Ga...aku paham gimana sakitnya kamu. Nggak papa ..."

Disitu saya bersyukur, dia tidak menghakimi saya yang nggak mau memaafkan dengan cepat, apalagi minta maaf (karena memang posisinya tidak untuk minta maaf).

Sejak itu pula, saya yakin, bahwa maaf dan memaafkan itu sangat sakral dan personal. Tidak bisa dipaksakan, meski bisa diusahakan. Sungguh memaafkan sangat mulia, terlebih minta maaf (duluan) sangatlah pemberani.

Namun, ada banyak hal, kondisi, persoalan, yang tidak bisa semerta-merta diselesaikan dengan kata "maaf" saja... Melainkan PROSES PANJANG PERSONAL YANG TERKAIT .

Tidak apa-apa jika kamu tidak mau minta maaf karena butuh waktu untuk memaafkan dirimu dahulu sebelum mengumpulkan keberanian untuk minta maaf secara tulus. Pun... Manusiawi jika kita butuh waktu untuk bisa memaafkan lainnya.

Selama kita sama-sama belajar... Kedalam.
Bahwa setiap persoalan yang menyangkut relasi horizontal, pasti bukan salah 1 sisi saja. Refleksi... Dan nikmatilah proses permaafan 'dalam' dan 'pada' diri sendiri .

Karena sesungguhnya, lebih sulit memaafkan diri sendiri ketimbang kesalahan jiwa lainnya. Dan begitu selesai yang berujung 'damai pada diri'... Maka urusan maaf atau memaafkan lainnya akan terasa lebih ringan...insyaAllah.

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Selamat mendalami 'maaf' kita ...
Semoga 'Puasa' kita tak berhenti sampai disini...
Selamat re-charge energi 💗🙏

Saya,
Yang sampai ending tulisan nggak mengajukan permohonan maaf.
😇😘🤗








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.