"menangis sajalah, kalau aku membuatmu terharu"
Ia terkikik. Geli.
"kamu tau, kamu orang kedua yang kuajak bicara sebulan terakhir"
aku menutup menu, menggeserkan pena dan kertas pemesanan kearahnya
"ingat...kali ini aku muncul sepenuhnya sebagai seorang sahabat, jadi gak perlu diambil perasaan"
"iya... aku tau"
"aku sudah lama vakum dari dunia percintaan yang ahevlah ehevleh (*bla-bla)"
senyumu mendadak tak enak.
"maaf ya..."
aku beranjak cuci tangan.
"senang ?"
"aku senang, karena cuma kamu temanku sekarang,"
"iya, tentu saja. Dan kau berhutang banyak denganku, diluar semua makanan yang kupesan hari ini tentunya"
tak ada penolakan atau ketidaksetujuan.
kami mulai memahat dinding-dinding batu yang tumbuh entah sejak kapan, dengan berbagi kisah, dengan hinaan, dengan nasihat, dengan bujukan. Seperti mengunyah lotek setelah bertahun-tahun makan daging.
ringan.
segar.
enak.
kita sepakat untuk urusan yang satu itu.
membahas tentang perjuangan diantara sesama kesatria, membangkitkan dengan memaki -yang kuanggap tepat dan jantan saat itu.
sesekali berubah menjadi tukang bubur yang sudah master. memberi resep untuk mengolah nasi yang sudah jadi bubur.
tak melulu sepakat dalam pemikiran, tapi "yasudahlah" toh itu pilihan dan konsekuensi masing-masing tentunya.
dan tak ketinggalan...
Memaafkan.
"aku tidak membawa sedikitpun perasaan, hari ini"
"tapi aku membawanya kemana-mana..."
tatapannya memancing untuk melibatkanku dalam trik penggoda
"jangan marah, kamu berhak melakukan itu
tapi aku juga berhak melakukan ini kan ?"
"terserah kau sajalah", aku sudah tak begitu perduli dengan apa yang kan terjadi nanti.
kami belum kenyang.
dan mencari terkaman lain yang lebih lembut dan dingin untuk membawa ke suasana yang lebih netral.
"aku akan bertarung kembali nanti"
"mulailah besok"
kita berjabat tangan, dibawah langit kemarau yang dingin
kutepuk bahu selayaknya pria saling menepuk (paling tidak, seperti yang sering kulihat)
"semangat"
ia terlihat sekejap berpikir. lantas menahan jabatan sebelum kumasukkan telapak tangan yang dingin kedalam saku.
"tetaplah menjadi rumah untukku pulang".
aku terdiam, kini giliran semesta yang jadi gelagapan.