Minggu, 10 Juli 2016

The Great Nanny #PART 1

NB : Tulisan ini kuketikkan di hari kematian Alm. dan belum sempat melanjutkannya, tapi niat sudah kadung terbentuk... jadi.. di upload dan anggap saja ini part 1 nya  ya...

--------------------------------------------


Mungkin ini pertama kalinya aku menuliskan hal real tentang kehidupan pribadi secara blak-blakan...entah kenapa kali ini aku merasa "HARUS NULIS" tentang apa yang aku rasakan saat ini.
Ya, jika kalian sudah melihat IG ku pagi tadi....Tulisan kali ini, aku persembahkan untuk Alm. Mbak Robiyah... atau siapapun yang mengenalnya dan tidak mengenalnya. Aku ingin mencatatnya dalam sejarah pribadi, atau publik... bahwa pernah ada sosok "The Great Nanny" diatas bumi yang makin terlihat kecil dan sementara ini.

* BERITA *
Yogyakarta, 15 Juni 2016
Rabu pagi.

Bingung, jika harus dimulai dari mana...dan mungkin akan mengalir begitu saja secara acak. 
Subuh tadi sehabis sahur, handphone  kumatikan sembari di charger. Seperti biasa pasti ketiduran lagi sehabis subuh ... dan bangun-bangun sudah sekitar jam setengah tujuh-an. Begitu handphone nyala, langsung masuk perpesanan dan telpon. Aini menelpon dengan suara agak parau, mungkin karena masih pagi... 

"mbak, udah denger kabar ?"
"apaan ? kabar apa ?"
"mbak rob ninggal...tadi subuh katanya"
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun...seriusan ??"

Antara sadar gak sadar, aku mencerna berita tersebut, kira-kira pembicaraan singkat itu berakhir begitu saja dengan lempeng. Gak ada perasaan gimana-gimana. Cuma... berasa seperti angin gak lewat, cahaya gak ada, pikiran lagi kosongan. Kemudian langsung hubungi keluarga dirumah, sembari buka-buka file lama di laptop buat nyari foto terakhir aku dengan beliau...
memancing kembali semua ingatan yang terhalangi deadline pagi ini.
Kalau aku harus mengakui sesuatu dan aku bilang 'tidak menangis', berarti aku berbohong.

* BIBIT *
(flash back ya...)

Aku lahir dan tumbuh dengan kondisi yang serba istimewa (menurutku pribadi), aku punya tiga ibu, satu saudara sepersusuan, dan 2 orang ayah serta saudara kandung dan tak kandung lainnya. 
Waktu kecil, aku termasuk yang rewel dan pilih-pilih asupan makanan, untuk saat itu aku masih di usia "ngASI". Mbak Rob gak bisa ngehandle aku yang nangis gak berhenti, sedangkan mamah saat itu masih kuliah pendidikan guru.. Ya...bisa dibilang aku anak yang 'kecolongan', ada niatan punya anak... tapi kehadiranku diluar 'jadwal'. 

Disaat yang bersamaan, ibu yang tinggal dibelakang rumah atau yang biasa kupanggil "Tante Sri" gak tega ngeliat aku yang nangis gak berhenti-berhenti, akhirnya setelah izin suaminya dia memutuskan untuk memberikan ASI nya buatku. Bener saja, aku langsung tenang. Anaknya, Aini... anak perempuan yang lahir sebulan setelah kelahiranku. 
Ayah-Mamah, Ibu-Bapak kami saling mengenal sejak masa muda, ya... orang tuaku lebih tua beberapa tahun, dan seiring dengan kisah yang terjalin oleh benang merah yang begitu panjang, mereka pun sudah seperti saudara kandung.
Ibu kami hamil diwaktu bersamaan mengandung kami, dua-duanya perempuan tangguh, anti manja gula-gula... kepasar berdua biar saling 'backup' kalo sampe ada yang pingsan (meskipun pada akhirnya yang pingsan malah yang 'jagain') begitulah.. 

Sepulang mamah kerja, Tante Sri sendiri yang bilang ke mamah.
"Mbak Yati... tadi Mega nangis gak berenti-berenti, aku gak tegel*(tega) liatnya.. jadi aku susuin"

Mamah tentu saja agak kaget...tapi 'gimana lagi ?' udah terlanjur kan ? 

"Tapi kamu sudah izin Saleh ?" (suami Tante Sri)
"Sudah Mbak..."
"Kalo memang kamu ikhlas, dan Saleh mengizinkan...ya gak papa..saya yang terimakasih"

Setelah ucapan maaf dan terimakasih dan entah apalagi diluar pengetahuan saya... sejak itu pula saya RESMI punya saudara sepersusuan yang namanya AINI .


* MBAK ROB *

Mbak Rob mulai tinggal bersama keluarga kami sejak sekitar 3 bulan sebelum aku lahir, ayah sendiri yang mencarinya untuk persiapan kalau aku lahir. Ayah dapat info dari temannya kalau ada gadis dikampungnya di Metro yang bisa dijadikan asisten rumah tangga. 

Hari itu, ayah mboyong Mbak Rob kerumah kami yang baru dibangun (belum sepenuhnya selesai) tahun 1993. Kami pendatang baru dan cukup bisa dikatakan 'pendahulu' di daerah tempat tinggal kami, Rajabasa. Tempat yang (kalau kalian mau tau) jaman dulu sih angker banget kalau denger nama RAJABASA. Kecamatan yang dibilang angker bukan karena banyak setan... tapi markasnya preman. Bukan sekedar preman... tapi gembong alias tempat dimana antar geng preman berkumpul, yang mana ceritanya bebacokan antar geng preman -peperangan berdarah dijalan menujun rumah kami itu hal yang BIASA. 
Bisa dibayangkan ? 

Rumah kami di ujung gang, sekitar 1 kilometer dari jalan protokol, 1993 Desember belum ada listrik, masih pakai petromagh . Lokasi gak begitu jauh dari Terminal Induk Rajabasa yang sampai sekarang masuk peringkat 'Terminal Ter-angker se Asia Tenggara'... lagi-lagi bukan karena setannya, tapi karena kriminalitas dan premanisme yang berkembang pesat disana. 
(Jadi upaya saya menyamar menjadi gadis jawa baik-baik di Yogyakarta bisa dikatakan berhasil ya ? mengingat saya tumbuh dilingkungan 'mantan preman' disana)
 Saking jarangnya rumah disana, ayah memasang nomor rumah dengan angka 100, dan sejak itu perkembangan pemukiman disana membuat rumah dengan nomor yang menghitung mundur dari 100 ...(lucu ya?  #maksa)

Kalau dipikir-pikir, Mbak Rob gak ngeluh ya dibawa untuk kerja dilingkungan kayak gitu ? mengingat aku pernah denger kalau ART sekarang banyak maunya, bahkan berani bilang "saya gak biasa kerja di rumah yang gak tingkat 2 dan pembantunya gak 2" (ini real lhooo !!!)
Salut. 

Mbak Rob lahir di Metro, didesa kecil dengan bulek (tante) dan saudara-saudara sepupunya. Ia sudah yatim piatu sejak berumur 3 tahun kalau gak salah, dulu dia pernah cerita waktu aku masih kecil. 
Dia tidak bisa baca tulis, karena gak sempat mengenyam pendidikan SD saat itu karena orangtuanya meninggal dunia, jadi begitu sudah tau kerjaan, dia ikut bulek nya nandur di sawah. Seperti kebanyakan penduduk di kampungnya. 

Dulu aku sering nanya dengan polosnya "kok Mbak Rob gak bisa baca ?"
beliau cuma jawab, " kan Mbak Rob gak sekolah, kalo mega kan sekolah makanya pinter baca".

Yang kuingat pasti, Iat elaten orangnya, sabar sama anak kecil, aku ingat sekelebat-sekelebat...
waktu mamah kerja, aku sama mbak Rob seharian. Doi sambi masak, nyuci, dsb.
Kalau lagi masak, aku digendong pakai kain gendong di belakang, biar gak kecipratan minyak.
Aku inget waktu masih kecil dia suapin pakai ikan mas, terus ketelan duri... dia gak terlihat panik tapi terus berusaha ngeredain tangisanku sambil nyuapin nasi biar durinya lepas kebawa nasi, dan air.

Saking dekatnya dengan mbak Rob dan "apa-apa Mbak Rob", aku sampe diledekin "anak Mbak Rob" sama tetangga dan teman-teman mengajar mamah. Mereka tertawa ngeledekin aku, tapi aku nangis gak mau disebut anak Mbak Rob. hehe...
Baru sekitar SMA aku bisa 'selow' diledekin begitu .
Ya... Mbak Rob bekerja di keluarga kami sekitar 20 tahun. Bayangin !

Resepnya ?
Menurut penelitian terhadap banyak tokoh sih. 
keawetan pekerja bergantung pada bagaimana si pekerja, dan si pemberi pekerja. 
sebagai contoh :

Dikerluargaku, Mbak Rob diperlakukan layaknya anggota keluarga. Bedanya, jobdesknya lebih spesifik. 
Mbak Rob bebas meminta tolong pada siapapun di rumah kami, bahkan menyuruh ku untuk menggantikan tugasnya. 
"Ga, bikinin minum buat tamu sih", ini kalo mintanya lagi baik yaa. Misal ada tamu yang gak dia suka, dia akan diem dikamar atau kalo ngomong 
"sana bikini minum, itu kan om -mu"

well~
Alm. Nenekku dari ayah pernah menyaksikan 'episode' yang ini, dan beliau sempat meminta orangtuaku menegur Mbak Rob.
Tapi apa yang dilakukan orantuaku ?
diam aja.

Mama sering marah-marah bangunin aku tiap minggu pagi karena males-malesan dan sengaja bangun siang (katanya) -masih bela diri yeee...
Doi bilang "jangan semua-mua mbak Rob.. sana nyapu depan !"
(iya.. pake tanda seru kok)
"inget ya nak, tugas pembantu itu hanya MEMBANTU (ditekankan dengan halus saat bicara empat mata), BUKAN BABU"

keren kan ? emak guwe !
alhasil.. kami semua harus kerja, bantu mamah, beres-beres rumah .. kecualiiiii pria-pria dirumah kami yang harus dilayani. 

*PERJALANAN*

20 tahun aku yakin bukan waktu yang singkat dan mudah. Manusia diciptakan dengan semua sisi baik buruk serta paket menyebalkan sebagai 'BONUS'. Begitu juga almarhum dan kami. Seperti sebuah takdir yang tak bisa kami pilih, seperti takdir akan sebuah ikatan saudara.

Seluk beluk rumah kami, dia masternya. Setiap pagi sudah bangun matikan lampu-lampu, nyapu, nyuci baju. Mamah dan Mbak Rob itu sejenis team yang udah saling back-up, karena mamah ayah kerja berangkat pagi kan..kami juga sekolah.
Sebenernya gak ada suatu yang diharuskan ke Mbak Rob dirumah kami.
bebas dia mau nyuci jam berapa, masak jam berapa. Yang pasti.. urusan baju seragam dipakai hari apa dan apa... doi udah harus tau dan ada pas mau dipake. 
Simpel. 
Mbak rob diajari mamah banyak hal untuk kami, dan baiknya juga Mbak Rob improve banget sama yang mamah ajarkan, gak jarang untuk beberapa hal dia EXPERT ketimbang mamah.


Kolaborasi Lebaran yang paling asyique.
Mbak rob bukan tipe yang terlalu antusias sama bikin kue, jadi partner mamah ya tante sri. 
Tiap tahunnya rumahku seperti open house, mulai dari pulang solat IED sampe malem, tamu gak berhenti ... alhamdulillah ramai. 
dan tentunya memberikan pekerjaan tambah buat kami, HANYA PARA WANITA untuk membereskan semuanya. 
kalau kalian yang baca ikut terjun, baru bisa ngerasain sensasinya. Ketika tamu gak berhenti dan datang seperti gelombang laut, kemudian semua gelas keluar, dan masuk ke rak cucian,= dan segera harus dicuci, dikeringkan dan diisi lagi.
Mengisi toples-toples dan piringan makanan basah untuk selalu penuh...gak lupa cipika-cipiki, dan tugas tambahanku sebagai "PENYALUR THR"
Anak-anak kecil gak kalah banyak. Seperti udah dibisikkan secara turun temurun (lebay), anak-anak ini aku perhatikan dari kecil sampe pada SMP masih pede ikutan nunggu THR ...

Aku iri, sering. 
Karena sejak kecil, aku gak pernah ngerasain keliling rumah tetangga untuk minta THR. Dengan kondisi rumah yang ramai, aku gak bisa kemana-mana sampai H+3 lebaran.. sedih kan ?
hiks.

Balik lagi ke persiapan lebaran.
yang terkenal dari Gubug kami waktu lebaran adalah "MANISAN KULANG-KALING"
yeah.. aku baru ngerasain ikut membuatnya pas SMA. Tentu saja kalian akan tau dari mana rasa manisan yang jadi legenda itu. 

Pulang dari pasar, mamah sudah bawa 10 kilo kulang-kaling (pernah sampe 20 kilo karena sepupuku ada yang minta dibuatkan). Mbak Rob langsung bongkar muatan, dan nyuci ampe bersih, rebus, cuci lago, rebus lagi. Hingga adegan yang terakhir setelah gula-gula dimasukkan (ini bisa memakan waktu seharian sampe malem malah) aku bertugas gantikan mamah ngaduk tuh panci dengan 20 kilogam kulang-kaling. Bagian terberat, mengaduk, mengaduk, mengaduk, sampai semuanya merata panas dan manis pun meresap.

Kulang-kaling jadi, itu bukan sebuah akhir. Ini nih... keahlian Mbak Rob...
Kulang-kaling manis tadi enak banget kalo dimakan bareng tape ketan item !
wuiiihhhh dahsyat. dan lucunya... selama aku idup, gak ada tape ketan yang nyaingin enaknya tape bikinan Mbak Rob. Mungkin terdengar lebay, tapi seriously.. aku agak menyesal belum pernah belajar bikin tape sama doi. :'(

(Bersambung ...)