Selasa, 26 Juni 2018

RACAU PAGI #LEVEL

Pasti sering denger nasihat yang intinya seperti ini, kan ?
"Kalau nggak ada cobaan, kamu gak akan pernah naik level"

Dan hampir semua dari kita pasti pernah benar-benar merasakan ujian kenaikan level. Ada yang melewatinya dengan lempeng, ada juga yang sampe jatuh banget baru ngerasa kuat kemudian, sadar betul bahwa dia sedang dan baru saja melewati sebuah fase kenaikan level.

Ya... Seperti itulah.
Beberapa orang diciptakan dengan kepekaan dan pendalaman terhadap sebuah rasa dan pengalaman. "Interpersonal"
Membuat manusia tersebut paham betul apa yang sedang dialaminya, apa kekuatan dan kelemahan yang dia punya, dan usaha apa yang akhirnya dia pilih, sikap apa yang dia siapkan untuk keberhasilan ataupun kegagalan.
Saya salah satunya.

Saya pernah menulis jauhhhhh hari.. Mungkin saat saya berada diawal-awal perkuliahan ...
Disitu aku bilang," aku sudah pernah mati yang benar-benar mati, kemudian aku lahir kembali menjadi sosok yang baru".

Dan ternyata setepah tulisan itu pun.. Aku kembali mati beberapa kali, dan hidup kembali.
Ya... Ada rasanya saat diuji akan suatu hal yang benar-benar berat... Rasanya seperti sekarat, tidak ada yang bisa kau perbuat selain berharap pada Tuhan..

Dan kemarin, baru saja aku merasakan sekarat itu kembali. Benar-benar kayak zombi. Jalan, gerak, bawa motor, tapi kosong. Menangis sejadi-jadinya dalam doa.
Seseorang pernah bilang,
"Tuhan sesuai prasangka hamba-Nya".
"Setiap pundak sudah didesain untuk (pasti bisa) memikul bebannya masing-masing"
Hingga...
"Tangan Tuhan baru bekerja, setelah hambanya berserah dan tidak ada lagi yang bisa hamba tersebut perbuat".

Dan semua kalimat itu, aku sudah membuktikannya.
Ya, dan setiap kali mengalami hal yang begitu berat, aku terus mengulanginya.
Jujur saja, kalau kita sudah tidak bisa apa-apa.. Dan memang tinggal IA yg maha segalanya dengan logis ataupun keajaiban, pasti bisa membenahi, meringankan, menyembuhkan.

Yang ingin kusampaikan adalah...
Kau mungkin bisa saja sekarat dan mati berkali-kali dari dalam..
Tapi jangan biarkan dirimu terjebak dalam kematian..
Karena semua yang terjadi di kehidupan ini, semua sudah didesain sedemikian rupa, berikut dengan opsi dari hasil usaha yang bisa kita lakukan.

Pilihlah cara yang paling kau bisa,
Jangan biarkan kematian melalapmu begitu saja.
Kau kuat, lebih kuat dari yang kau pikirkan.
Percayalah. Ia

Selasa, 12 Juni 2018

RACAU TENGAH MALAM #2

Saya butuh rebahan, agak bengong, dan beberapa kali hela napas panjang saat memikirkan apa yang ingin saya tuliskan di edisi meracau kedua ini.

Belum 12 jam sejak saya sampai di rumah, rasanya mau nulis aja nggak sanggup, tangan sudah kering, dan rasanya ujung-ujung jari mulai keriput. Yaaa... Beres-beres bawaan lalu tidur hampir 3 jam karena kemarin malam minap di bandara, yaaa tentu saja tidak bisa tidur lelap. Sebangun dari mati suri itu, langsung mandi dan terjun jadi valounteer tahunan di dapur gubug kami, lanjut terus sampai malam cuci piring bekas makan yang ... MasyaAllah - tak sanggup kubayangkan ulang. Sambil bersenandung "ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja", dilanjut lagu hidayah "astaghfirullah" nya Opick (Padahal pas awal masak lagunya masih Banda Neira), wkwkkwkw.

Disini lah sensasinya. Ketika agen feminis romantis  yang adil dan beradab mengabdikan diri pada kehidupan patriaki yang membesarkannya hingga jadi se- reliable ini. (Mampus kau dikoyak sejarah !)
dan di momen seperti ini banyak sekali hal menggelitik di pikiran saya. Salah satunya," kok bisa ya...perempuan diluar sana sibuk minta di kawinin, sedang saya seumur hampir seperempat abad masih sibuk mikirin gimana caranya biar bisa bagi tugas di dalam rumah, mikir bagaimana bisa abis ini kerjaan kantor yang dititip selama saya mudik bisa tercapai sesuai target, bahkan banyak sekali yang bisa saya pikirkan sampai sakit kepala ini. Tapi tidak dengan pernikahan.

Balik lagi, mungkin itu ya... Yang diteriak-teriakkan orang tentang "perbedaan". Tentu saja latar belakang, ilmu, lingkungan tempat tumbuh berkembang dan pengalaman hidup menjadi alasan kenapa mereka ngebet dikawinin, sedang saya makin tua makin ogah-ogahan.

Bicara soal patriaki...
Saya sering membahas ini dengan beberapa kawan yang juga feminis. Dia bilang kalau bawaannya makin sinis dan sarkas jika membahas soal patriaki. Alhasil, gak jarang laki-laki jadi objek yang dipojokkan.

Lucunya, tidak dengan saya. Semakin mendalami tentang patriaki dan mengamati beberapa gerakan feminis di lapangan yang berbeda-beda alirannya justru membuat saya tidak ingin berkonfrontasi dengan kaum laki-laki. Kenapa ?

Sebagai resume yang bersifat sangat dini dan masih mentah akan rujukan, membenci sikap kaum laki-laki bukanlah solusi. Seperti menepuk air di dulang, kena muka sendiri, sia-sia, rugi yang ada.

Saya semakin yakin, bahwa bukan saatnya membenci antara gender, berkonfrontasi, dan hanya mblunder soal "siapa yang paling banyak berperan". 
Satu hal yang kusadari, sebuah hal yang sangat tragis... Adalah KITA SAMA-SAMA KORBAN PATRIAKI. 

laki-laki yang tercipta hari ini, sama apesnya dengan kita para perempuan. Kalau kita pusing lantaran ketidak seimbangan pembagian tugas di rumah, gaji di kantor, dan sebagainya...
Mereka jauh lebih tertekan daripada itu semua... Bagaimana tidak ?

Sejak lahir, laki-laki dinegara ini khususnya sudah di bentuk dan diajarkan untuk selalu kuat, tidak boleh menangis apalagi cengeng seperti stereotype terhadap perempuan, sampai remaja tidak pernah dilatih untuk bekerja menyentuh dapur, cuci piring dab bereskan kasur sendiri pun tidak, alhasil ? Diusia yang cukup matang, tidak bisa segera mandiri, ketergantungan yang lahir kepada kaum perempuan (baik terhadap ibu ataupun pacar, atau istri) menjadi bibit penerus sistem memuakkan ini. 

Belum lagi tuntutan agar selalu kuat, agar selalu jadi pemimpin, untuk peka dan menjadi pelindung, untuk mengasihi, untuk menafkahi, dan lain-lain... Menurutmu itu nggak berat apa ??? Ceennn~

Alhasil, gadis-gadis polos diluar sana (yang juga korban patriaki dan mengira semua ini hal alami dan kodrat dari ilahi) berpikir bahwa ,"aku ingin bisa masak, rajin, dan lemah lembut agar menjadi sosok ideal yang LAYAK DINIKAHI". 
berbondong update di sosial media 
"Aku udah bisa masak nih, mas. Yakin kamu gak mau sama aku ?"

What ???
Maaf kalau hanya saya yang merasa sedih sendirian. 

Pertemuan dua korban ini, sudah pasti akan melanjutkan estafet peradaban yang tak ada perubahan. "Generasi penerus patriaki". Dan akan melahirkan generasi serupa kemudian...wallohualam.. 

Saya jadi ingat, suatu hari saya ngobrol dengan anak sosial dari sanatadharma. kami angkat tema feminis dan patriaki waktu itu. Dia (laki-laki) bilang, "masalahe, sistem ini sudah berangsur selama lebih dari 1500 tahun mbak, jelas gak bakal diterima dengan mudah kalau kita melakukan hal-hal yang bertolak belakang atau minimal gak melakukan ritual seperti yang normatif ajarkan, ditambah lagi kita lahir dan tumbuh dengan banyak layer; adat istiadat, agama, kebiasaan keluarga, dan lain-lain yang tentu saja kita gak bisa sembarang menjadi 'berbeda' (kalau gak mau kena hukum sosial)". 

Benar juga, sungguh dilematis. Terlebih mengingat bahwa tidak semua yang kita lakukan sebagai kebiasaan itu suatu yang benar. Apalagi jika menyangkut adat istiadat... Ditambah kita masih tipikal keluarga yang 'dipantau' orangtua yang konservatif, dimana menikah bukan menjadi pintu kebebasan untuk mengelola keluarga kecil secara mandiri, namun tetap dalam intervensi. 
JELAS INI : PE-ER !

Balik ke gadis-gadis baik dan lugu tadi... Tidak jarang saya melihat beberapa gadis yang saya kenal memilih untuk "mengemis" dikawini, baik yang jomlo ataupun yang sudah punya pacar. Kode-kode 'dihalalkan' yang membuat saya miris kemudian... Karena setelah (akhirnya) dikawini, mereka mulai galau di media sosial tentang kehidupan rumah tangga yang berat, membandingkan tugas dirinya dan suami yang seakan tidak seimbang saat mengasuh bayi, anak yang rewel, galau mau kembali gadis, dan banyak hal yang membuat saya sedih. "Kok yo kamu nggak bertanggung jawab dengan pilihanmu ?"

Belum lagi ada yang bilang, "aku tuh nggak bisa masak dan beres-beres, nanti gimana lah ngurus suami aku ", Hhhhhhh... Sampe gak kuat berkata-kata. 
Itu lah ya, kenapa laki-laki juga harusnya sadar untuk melawan patriaki, karena mereka sendiri yang rugi karena tidak bisa (padahal bisa) untuk mandiri.

Jadi, saya sendiri kesal dengar laki-laki yang bilang, kalo nikah untuk diurusi, (baca:: dimasakin, dicucikan baju, dibereskan lemari, dibikinkan kopi, diurusin rumah dan anaknya sama istri) 

BHAY ! 
KOWE NGGOLEK ISTRI OPO PEMBANTU LE? 

akan mustahil ya, mungkin ada tapi akan sangat jarang mendengar ," kalo sudah nikah, pengen belajar masak bareng istri, gantian bikin sarapan, nata rumah bareng, ngerawat anak bersama, dsb" 

Kayak mimpi ya ? Hahaha. Begitulah. 
Padahal kalau kita bicara soal patriaki, pasti merembet luas sampai ke pernikahan. Saya pernah menulis tentang pernikahan di TUMBLR saya. Tulisan singkat itu lahir atas keprihatinan saya dalam memandang sebuah pernikahan. Dimana rasanya menjadi orang yang aneh ketika mengharapkan pernikahan yang sakral, lebih dari sekedar penghalalan nafsu birahi, dan soal gengsi dalam kehidupan sosial dibelakangnya. 

Menikah... (hiiy saya merinding ngucapnya) bagi saya sangat-sangat sakral, nggak bisa sembarang pengen langsung trabas. Nggak bisa cuma modal nafsu dan punya uang, kerjaan, rumah, segala  embel-embelnya. 
Nggak cukup. Karena ini sebuah keputusan jangka panjang dengan banyak resiko dan cobaan tiada akhir. Untuk jatuh dan bangkit berkali-kali, untuk jatuh cinta setiap hari, untuk kecewa dan kebahagiaan yang timbul tenggelam, belum lagi hadapi kerasnya unsur eksternal yang datang tak tahu kapan dan bagaimana, tentu saja bukan hal yang bisa ditentukan dengan mudah. 

Ditambah lagi, untuk orang- orang yang memang tidak tertarik untuk menjadi agen  penerus patriaki, tentu saja menikah dengan konsep persahabatan, dimana melayani, menguatkan, dan merawat milik bersama adalah tugas satu sama lain,  menjadi hal yang lebih menantang karena sulit sekali menerapkan hal tersebut dalam kenyataan. Karena tidak semua orang siap untuk mengemban tugas yang tidak pernah diajarkan oleh generasi sebelumnya tentang "tugas lintas gender". 

Hah.. Saya harus check jemuran diluar, dan mulai bantu ibu saya remas-remas daun suji, dan nggak lama lagi nyiapin buka puasa. Berat ? Iya, tapi sudah jadi kebiasaan dari kecil. Ketika pulang, artinya kembali menjadi bagian dari patriaki. Meski pelan-pelan ngobrol sama mamah  untuk bagi tugas ke kakak laki-laki dirumah. Agar cepat selesai. 

Intinya... 
Patriaki itu udah ketinggalan jaman bener, merugikan kita semua, mau kamu laki ataupun perempuan, kita sama-sama dirugikan.

Dan kita selalu bisa memilih. 
Apakah ingin seperti ini terus, atau menjadi bagian dari manusia-manusia yang merubah peradaban, mulai dari keluarga kecil kita, mulai dari pola pikir yang kita yakini, dan dari sikap-sikap dalam menghadapi apapun setiap harinya. 

"Revolusi sejak dalam pikiran" lah istilahnya. Semoga, generasi setelah kita nantinya, tidak lagi mengenal "bangga berjiwa babu bagi perempuan", dan "bangga menjadi alpha yang nggak bisa apa-apa dan cuma nyusahin perempuan  bagi laki-laki"

Semoga ! 
Selamat beraktifitas kembali .
Salam nalar. 
:)

Bandarlampung, Selasa 12 juni 2018







RACAU PAGI #3

Sebagai anak bungsu yang kuliah ketika ayah pensiun, dikasih uang bulanan yg harus cukup buat semuanya (listrik kost, air minum, makan selama sebulan, barang bulanan pokok, termasuk hal2 yg tak terduga), kuliah dengan desakan "harus cepat lulus", plus "kalo bisa cumlaude ya, karena anak mamah blm ada yg cumlaude", tentu saja saya harus serba hemat dan mampu menata.

Lulus S1 dan lanjut profesi dengan desakan segera lulus (lagi) karena mamah sudah mau pensiun dari guru negeri.

Punya mimpi yang silih berganti tapi passion tetap sama, hingga terlempar sana sini dalam masa pencarian diri dan menetapkan hati, gagal berkali-kali dalam pencapaian ambisi untuk menjadi normatif.

Dan akhirnya menemukan muara yang begitu melegakan batin dan pikiran, sebuah tempat yang menghubungkan setiap kegalauan dan pertanyaan selama ini... meski bukan akhir capaian, namun dititik inilah kesimpulan demi kesimpulan kudapatkan...belajar kembali banyak hal. Membukakan lebih banyak pintu dan pandangan...

Kesalahan dan kekalahan yang mengoreksi perlahan, mengajarkan banyak arti penerimaan...
Bahwa...memang benar tidak semua hal bisa dibeli dengan angka, sangat benar jika ada pepatah bilang kebahagiaan itu datangnya dari diri yang merasa cukup, dan tentang mimpi-mimpi polos yang mengejarmu dan menamparmu saat kau mulai lupa diri akan tugas yang IA tetapkan untukmu.

Dan... aku percaya, bahwa segala sesuatu yang bisa diganti, dibeli kembali, ditukar yang baru, dan hal-hal lain yang masih dapat diwujudkan dalam bentuk rupa...tidak lebih penting dari orang-orang baik disekitar kita dan tidak lebih menyakitkan dari kehilangan hasrat pribadi. Satu dua kesalahan, patut dimaafkan, karena kehilangan jiwa-jiwa tulus jauh lebih menyakitkan dari kehilangan harta benda, sungguh...

Selasa, 05 Juni 2018

RACAU TENGAH MALAM #1

Sedikit  klise, 
namun pada akhirnya kutuliskan juga.

Ada beberapa hal...
Oh tidak, ada BANYAK HAL...dimana saat kita 'mendewasa' dalam artian sesungguhnya, kita akan banyak belajar dan merefleksikan yang sudah kita lakukan, untuk sebuah perbaikan. (Meski tak semua orang melakukannya, tapi percayalah... bagi kalian yang berani mengakui kesalahan pada diri sendiri, dan menjadikannya refleksi untuk lebih baik kedepannya, kalian boleh bersyukur).
Karena hidup dan menghidupi kehidupan, mengenal dan memahami diri sendiri, sungguh hanya terpisah seutas tipis dalam pemaknaan namun berdampak besar pada kehidupan.

Manusia seringkali bersikap lucu, memang. Ia menciptakan manusia dengan chaos yang kadang buat kita sendiri terheran-heran dengan sikap dan pikir kita. Kadang kita seringkali merasa paling 'selesai', meskipun tidak akan pernah ada yang benar-benar 'selesai' sepanjang jantung ini masih ada degupan. Kita merasa sangat lebur, meski tersisa setitik lebih pekat, merasa berhak mengkasihani yang lain meski semua itu, tak lain hanya menerjemahkan kesombongan demi kesombongan pada semesta, bahwa diri... merasa lebih tinggi dari sosok yang lain...

Rasa kecewa, amarah, bahagia, cemburu, benci, iri, obsesi... dan masih banyak lagi, seringkali mengganggu pikir kita- sadar ataupun tidak. Membandingkan menjadi kejahatan kecil yang adiktif bagi jiwa kita, menciptakan serpihan-serpihan rasa yang jauh dari kata 'nyaman dan aman'. Jauh dari kata bersyukur dan menerima- diakui atau tidak.

Tapi cobalah, sesekali saat dalam perjalanan yang memberikanmu kelonggaran untuk mengintim dengan semesta, kita memutar semua itu dengan sudut pandang lainnya, dengan alur apa saja, tak lain untuk belajar memahami sebuah pola abstrak yang mungkin tak dapat langsung kita maknai dengan cantiknya.
"kita pernah merasakan nikmat seperti yang dia rasakan...", meski dalam wujud yang lain.
"mungkin Tuhan memang tidak merestui jalan tersebut, dan aku yang sudah berjuang ini harus belajar tentang penerimaan sebuah takdir"
"bisa jadi, sosok-sosok yang kita bandingkan dengan diri menginginkan apa yang kita jalani saat ini"
"apa kita akan benar-benar bahagia jika bertukar posisi dengannya ?"
"apa mungkin tak ada celah untuk bersyukur dengan apa yang saat ini kita punya ?"
"jika saat ini aku belum baik, bukannya tak ada kata terlambat untuk memperbaiki ?"

Pada akhirnya,
hanya masing-masing kita yang bisa mengupayakan sebuah KELEGAAN, keikhlasan, penerimaan, sekaligus SYUKUR. Mendewasa itu seperti pilihan, kita bisa terus bernapas, hidup, makan, beraktivitas, dan mengulangnya begitu terus sepanjang usia... atau berusaha meranang sebuah takdir dengan cara yang lebih baik-untuk jadi yang lebih baik, tanpa harus lupa bahwa takdir NYA jauh lebih kuasa dan jelas arahnya.

Sebuah kekuatan yang menguatkan namun bukan untuk adu kekuatan dengan Maha Pemberi Kekuatan. Apakah kalian juga pernah berpikir demikian ?

Karena, bagiku pribadi...
perasaan-perasaan yang muncul yang mungkin disebutkan di atas, bisa jadi sebuah jalan pembuka untuk kemampuan berpikir, dan cara mendalami kehidupan dengan sebuah kaca yang mengarah ke diri sendiri. Salah satu jalan manusiawi dalam mencari makna dirinya dalam kehidupan, untuk mengetahui tugas yang Tuhan embankan dengan punggung dan telapak kaki yang telah IA desain sesuai kapasitasnya masing-masing.
Sebuah jalan untuk menerima dan bersyukur akan anugerah - sebuah kehidupan.


Selamat malam,
Selamat mencari, selamat menemukan diri...dan menjalankan tugas dari NYA dengan sebaik-baiknya.
Karena hidup ini, bukan cuma tentang makan, tidur, mengkoleksi gelar, dan mengumpulkan angka.
Kita semua diberi tugas LEBIH DARI ITU 
Asal kita mau mencari tahu, dan melakukannya.


Yogyakarta, 05 Juni 2018
23:50