Jumat, 07 Juni 2019

Kisah Pulang #1

Kembali ke belakang dengan membuat dan menempuh jalan baru, benar-benar membuat kita memiliki pengalaman yang berbeda. Bagaimana kita menatap sesuatu yang terlewat beberapa tahun silam, menilai banyak persoalan yang bisa dibilang 'kaset lama', bahkan mendalami makna dibalik hal-hal kecil 'biasa' yang tiap hari terjadi di sekeliling kita.
Buat saya sendiri, kepulangan ke kampung halaman menjadi sumber inspirasi tulisan dan jawaban akan banyak pertanyaan saya dimasa remaja dulu.

Maksud hati ingin kembali untuk rehat dari hiruk pikuk deadline dan kerjaan, tapi apa daya ibunda butuh bala bantuan...pasti banyak yang mengalami hal serupa, bukan ?
'berbakti' menjadi kata kunci yang menenangkan hati, bersyukurlah karena kamu terlahir dan besar untuk menjadi anak baik dan mengerti keadaan...kamu terberkati, karena lepas dari semua letih... Kamu masih diberi kesempatan untuk berdebat, kadang singut, nggak jarang bete,  tapi baikan lagi karena sayang - dengan orang-orang dirumah.
:)

Tahun lalu saya pernah bahas soal pulang itu berarti mengalah (dari kata MENG- ALLAH...)

Suatu waktu, adik tingkat kesayangan saya pernah ngajak ngopi bareng buat diskusi lepas penat. Bersama teman-teman lainnya, kami ngobrol banyak hal dari kiri ke tengah, lalu kanan, atas dan bawah.
Well... Dia ngangkat perihal "babat tanah jawi" lanjut ke 'atlas walisongo'  yang sampai saat ini saya belum kesempatan baca bukunya.

Salah satunya diceritakan, bahwa dahulu sekali... Saat walisongo belum masuk ke tanah jawa, sesungguhnya watak orang jawa itu sangat kejam, ndak bisa lihat orang lain yang derajatnya dianggap lebih rendah, jalan lebih tinggi. Saat itu orang mengenal 'mo limo' yang intinya
Mereka hobi berpesta (mabuk-mabukan), zina (madon/ main perempuan) dengan satu perempuan yang digilir, judi,dll. dibilang jaman jahiliahnya orang jawa.

Lalu, datanglah sunan ampel/ sunan giri gitu (kalo tidak salah) dan dalam kurun kurang dari 40 tahun, dia mengislamkan tanah jawa beserta jajaran pemimpinnya yang pada waktu itu berbasis kerajaan.

Kalo soal agama, orang jawa itu punya agama sendiri yang kita lebih kenal gampangnya 'kejawen' itu...
Nah, gak seperti yang kita pelajari di SD soal animisme dinamisme (dimana mereka nyembah pohon, nyembah batu, nyembah roh nenek moyang).
Walisongo saat itu menemukan banyak kemiripan dengan ajaran islam...

Orang jawa saat itu mempercayai bahwa 'ada sesuatu yang besar - pencipta- yang MAHA yang telah menciptakan semesta alam', namun karena tak nampak wujudnya... Mereka menaruh sesembahan pada pohon-pohon besar yang menjadi 'bukti ciptaanNya'. Kira-kira kalau saya gambarkan seperti itu

Tempat beribadah yang mirip pelataran berbentuk kotak, dengan pagar setengah (seperti nampan) atau hanya tiang-tiang tanpa pagar , juga memiliki filosofi tersendiri yang artinya
"Tuhan bisa masuk lewat mana saja", yang kemudian diakali oleh wali dengan munculnya konsep tempat ibadah para santri yang kita sebut "langgar".

Watak keras orang jawa, yang mo limo tadi, diganti perlahan melalui dakwah 'nyeni' khas wali,
Mo limo yang awalnya buruk, diganti dengan "moh limo"  yang juga ada lima perkara yang intinya menjuhi ke 5 hal buruk diawal.
Jadi "moh" (ndak mau) melakukan zina, mabuk, dll...
Mashoooq !

Terus, orang jawa yang dikenal TIDAK MENGENAL TAKUT DAN KALAH saat itu, harus belajar tunduk pada suatu zat, bukan ?

Disitu saya baru tahu, asal usul kata "mengalah". Mengalah berasal dari kata Allah, ditambah dengan awalan Meng-
Jadi mengalah itu berarti MENG-ALLAH.
Menundukkan diri dari Tuhan.
Melihat walaupun seperti itu, orang jawa cukup taat pada 'zat' pencipta, maka...
Perlahan mengalah menjadi 'pelajaran' baru sebagai bentuk ketaatan (bisa dibilang ibadah juga mungkin ?)

Hingga kini, yang kita tahu "orang jawa itu suka ngalah". Ternyata sejarahnya panjang ya...

Dan terkait kepulangan, ada yang mengira bahwa mengalah artinya selalu menerima diperlakukan tidak adil/ diberdayakan cuma-cuma dan tidak adil lantas terima saja, berdebat lantas harus kalah.
Tidak sedangkal itu.

Mengalah disini,
Adalah menundukkan diri, hati,pikiran dihadapan Tuhan.. untuk merelakan banyak hal sejak mulai memutuskan untuk pulang. Ada banyak hal yang harus dibayar seperti kenyamanan di rantauan, harta untuk perjalanan, mungkin istirahat yang jadi nggak seberapa, dan keriweuhan serta chaos didalam sebuah keluarga yang tidak sempurna... Untuk selalu merasa cukup dan mampu bersyukur.
Menunduk... Menunduk... Menundukkan ego.
Kesel kesel dikit, wajar... Diungkapkan juga nggak masalah... Yang penting esensinya...
Bahwa kita telah mencoba dan berusaha untuk 'mengalah' ketika pulang ke rumah.

Karena kesempatan akan selalu berulang, namun tidak dengan hal yang sama.

Selamat menemukan makna pulang yang pastinya takkan sama...
Tema ini akan berlanjut selama saya di tanah kelahiran.

7 Juni 2019 | pasca lebaran H+2

Nyaik Kanjeng
(Untuk data yang terkait sejarah, akan terus dikoreksi dan diperbaiki 🙏 tabek)



Rabu, 05 Juni 2019

Perihal "MAAF"

Malam takbir, tentu handphone sudah ramai dengan berbagai text copas, gif, ataupun meme yang bergelimpangan massal. Kita bahkan anggap itu 'Lumrah'- malah jadi bahan guyonan lantas tetap dilakukan.

Sekitar 3-4 tahun terakhir. Saya berhenti minta maaf. Lho kenapa ?
Lebih tepatnya, ndak minta maaf sama yang saya rasa saya ndak gitu dekat sampe berbuat kesalahan, ndak juga copy-paste, dan memutuskan untuk membalas hanya yang chat duluan.
Egois ?
Bisa jadi. Tapi bagi saya, perihal "maaf-memaafkan' ini pilihan.

Kakak pertama saya selalu bilang, "mega ini anak yang kerjaannya minta maaf, dikit-dikit minta maaf". Gak bisa dihilangkan, ini salah satu dampak dari didikan ibu saya yg keras soal "MAAF, TOLONG, TERIMAKASIH".
Juga faktor lain seperti tumbuh sebagai orang yang minderan dan nggak enakan. 

Namun, pernah tidak berpikir seperti ini... Kita sering kali minta maaf untuk suatu hal yang tidak kita lakukan, hal-hal wajar yang manusiawi, untuk bersikap asertif dan jujur, bahkan sebenarnya itu bukan salah kita.
Kita hanya ingin semua baik-baik saja, dan menjadikan diri sendiri 'bantalan' agar yang lain tenang.

Ya, i'm that kind of person. Along this time. Till i decided to STOP it.

Mengeletek mendewasa sungguh ndak enak, kecewa karena lugunya diri akan hukum timbal balik dalam relasi antar manusia, dikhianati, dimanfaatkan, ditinggalkan, bangkit ? Tentu saja sendirian digandeng Tuhan.
Ya kan ? Iya nggak ? Hehe

Pertama kali saya bilang tegas, "untuk kali ini, saya enggak mau minta maaf, karena aku nggak salah"-- itu waktu fitnah merajalela dikerumunan kawan-kawan sekitar tahun 2015/2016 . Sejak itu, saya (dengan sangat susah payah) untuk pertama kalinya belajar "bodo amat".
Dan ndak mau basa-basi yang nggak mutu. Alias BASI BENERAN.

Aku membiarkan rumor tersebar, tanpa klarifikasi. Melihat mana kawan mana lawan, menseleksi dibantu alam. Lambat laun mereda, dan sembuh alami.

Suatu ketika dipenghujung 2018, saya mengalami suatu hal yang sangat..sangat..sangattt menyakitkan.
Kecewa pada suatu takdir yang tidak bisa diubah, kecewa pada gurita kesayangan saya sendiri.
Hingga saya memutuskan untuk menjauh dari tentakelnya, hati mengeras, namun tidak bisa membenci.

Saya hanya punya Tuhan, saat itu. Disaat yang sama, saya harus menjaga rahasia bahwa gaji saya ditunggak 1 bulan sehingga hanya mampu makan 1x sehari dengan menu secukupnya, duduk di pojokan pagar rumah orang yang agak rindang, sambil ngawas pak tukang yang bekerja dipanasan. Idealisme saya simpan digudang, agar nggak tergadaikan meskipun saya dirudung kesedihan mendalam dan kelaparan.

Waktu itu, hanya tiga orang teman yang tiba-tiba menanyakan kabar. Rasanya seperti diguyur hujan deras waktu kemarau panjang. Melegakan, haru, bahagia, terkuatkan.
Pada salah satunya, saya bercerita... Seluruh kompleks drama saat itu.

Satu hal yang saya syukuri. Dia begitu MEMANUSIAKAN SAYA YANG SEDANG TERKAPAR SEBAGAI MANUSIA LEMAH.
Saat itu saya bilang padanya, bahwa entah sampai kapan aku akan seperti ini, aku akan menjaga jarak dari para tentakelku, dan tidak bisa mencintainya seperti sedia kala, boro-boro minta maaf, bahkan kalaupun di-mintai maaf, belum tentu akan kuterima. Kira-kira begitu, entah seberapa dalam luka saya saat itu.
Hanya yakin akan tugas Tuhan yang menjadi pegangan saya untuk tetap hidup...

Dan tahu apa jawab sahaba saya saat itu.
Dia mempersilakan saya untuk bersikap seadanya, tidak perlu memaksakan diri, tidak perlu terburu-buru, katanya saat itu pada saya yang berlumuran air mata dibalik telponan berjam-jam.

"Biarkan Tuhan yang atur, bagaimana hati kamu akan sembuh dan memilih akhirnya, ...nggak papa, Ga...aku paham gimana sakitnya kamu. Nggak papa ..."

Disitu saya bersyukur, dia tidak menghakimi saya yang nggak mau memaafkan dengan cepat, apalagi minta maaf (karena memang posisinya tidak untuk minta maaf).

Sejak itu pula, saya yakin, bahwa maaf dan memaafkan itu sangat sakral dan personal. Tidak bisa dipaksakan, meski bisa diusahakan. Sungguh memaafkan sangat mulia, terlebih minta maaf (duluan) sangatlah pemberani.

Namun, ada banyak hal, kondisi, persoalan, yang tidak bisa semerta-merta diselesaikan dengan kata "maaf" saja... Melainkan PROSES PANJANG PERSONAL YANG TERKAIT .

Tidak apa-apa jika kamu tidak mau minta maaf karena butuh waktu untuk memaafkan dirimu dahulu sebelum mengumpulkan keberanian untuk minta maaf secara tulus. Pun... Manusiawi jika kita butuh waktu untuk bisa memaafkan lainnya.

Selama kita sama-sama belajar... Kedalam.
Bahwa setiap persoalan yang menyangkut relasi horizontal, pasti bukan salah 1 sisi saja. Refleksi... Dan nikmatilah proses permaafan 'dalam' dan 'pada' diri sendiri .

Karena sesungguhnya, lebih sulit memaafkan diri sendiri ketimbang kesalahan jiwa lainnya. Dan begitu selesai yang berujung 'damai pada diri'... Maka urusan maaf atau memaafkan lainnya akan terasa lebih ringan...insyaAllah.

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Selamat mendalami 'maaf' kita ...
Semoga 'Puasa' kita tak berhenti sampai disini...
Selamat re-charge energi 💗🙏

Saya,
Yang sampai ending tulisan nggak mengajukan permohonan maaf.
😇😘🤗